Beranda Opini Membangun Budaya Belajar di Sekolah

Membangun Budaya Belajar di Sekolah

411
Print Friendly, PDF & Email

BANDUNG (Infosiak.com) – Indonesia rata-rata menganut Budaya Sekolah, bukan budaya belajar. Budaya sekolah itu berarti mereka pergi ke sekolah setiap pagi dan pulang setelah siang atau sore. Namun ketika ditanya apa yang mereka dapatkan di sekolah, mereka bingung menjawabnya karena mereka tidak mempelajari apapun. Beda dengan budaya belajar, siswa pergi ke sekolah setiap hari, namun setiap hari pengetahuan terus diupdate, karena setiap hari, setiap saat digunakan untuk belajar.

Kalau direnungkan ada benarnya juga bahwa, sekolah tidak selalu identik dengan belajar. Tidak jarang seorang siswa pergi dari rumahnya sejak pagi buta, lengkap dengan seragam dan identitas-identitas sekolahnya. Setibanya di sekolah apa yang mereka lakukan? kadar aktifitas non-belajarnya lebih besar dari pada aktifitas belajarnya. Tidak jarang kita menemukan seorang siswa asik memainkan handphone padahal gurunya sedang menerangkan pelajarannya. Atau mereka asik ngobrol dengan tidak menghiraukan gurunya yang sedang berjuang memahamkan murid-muridnya di kelas. Tidak jarang juga kita menemukan siswa yang pindah tidur dari rumah ke kelas. Fenomena-fenomena tidak belajar ini hanya sebagian kecil dari sekian banyak fenomena tidak belajar yang dilakukan siswa ketika berada di sekolah.

Budaya Belajar

Budaya belajar dapat didefinisikan sebagai serangkaian kegiatan dalam melaksanakan tugas belajar yang dilakukan. Kita menjadikan belajar sebagai kebiasaan, dimana jika kebiasaan itu tidak dilaksanakan, berarti melanggar suatu nilai atau patokan yang ada, dan menjadikan belajar sebagai kegemaran dan kesenangan, sehingga motivasi belajar muncul dari dalam diri kita sendiri, yang akhirnya produktifitas belajar meningkat. seperangkat keyakinan, gagasan, nilai, kebiasaan, dan perilaku yang berpola atau bersistem yang dimiliki oleh suatu lembaga dan atau masyarakat yang berkenaan dengan belajar (Rusyan, 2007: 12) Budaya belajar ini merupakan jantung kehidupan suatu lembaga dan atau masyarakat sehingga ia menentukan keberadaan dan keadaan suatu lembaga dan atau masyarakat.

Baca Juga:  Rawan Kecelakaan, SMAN 5 Tualang Butuh Zona Selamat Sekolah

Suatu lembaga dan atau masyarakat yang eksis secara bermartabat lazimnya menjadikan budaya belajar sebagai kebutuhan dan kebiasaan, bahkan parameter sikap dan perilaku. Sebab itu, suatu masyarakat yang andal dan tangguh selalu memiliki tradisi budaya belajar yang kuat dan cemerlang guna menanggapi berbagai tantangan dan tuntutan. Budaya belajar menjadi norma dan parameter perilaku warga sekolah sehingga lambat laun berlaku dalil sekolah: “yang tidak belajar jangan ikut di sekolah ini” atau “tiada hari tanpa belajar”. Karena itu, sekolah yang tangguh dan andal selalu bercirikan: (a) menempatkan budaya belajar sebagai pilar proses pendidikan dan (b) memiliki warga sekolah terutama guru-guru dan siswa-siswa yang senantiasa menjadikan belajar sebagai panduan dan parameter segenap sikap dan perilaku. Jadi, sekolah yang baik merupakan sekolah yang dapat belajar berkat warganya menempatkan belajar sebagai kesadaran, kebutuhan, tradisi, dan parameter segenap gerak dalam mempertahankan, menjalankan, dan mengembangkan eksistensi yang beradab, bermartabat, dan manusiawi (Arifana, 2008).

Tradisi budaya belajar

Tradisi budaya belajar yang harus ada dan berkembang dalam sekolah beserta warga sekolah yang tangguh dan andal. Sekolah yang tangguh dan andal paling tidak perlu mengembangkan empat macam tradisi budaya belajar sebagai berikut.

Pertama, tradisi budaya belajar selama hayat (lifelong learning). Di sini sekolah beserta warga sekolah selalu belajar tiada henti. Seperti dikemukakan oleh Andrias Harefa (2000) bahwa pembelajaran akan mampu membuat manusia tumbuh dan berkembang sehingga berkemampuan, menjadi dewasa dan mandiri. Manusia mengalami transformasi diri, dari belum/tidak mampu menjadi mampu atau dari ketergantungan menjadi mandiri. Dan, transformasi diri ini seharusnya terus terjadi sepanjang hayat, asalkan ia tidak berhenti belajar, asal ia tetap menyadari keberadaannya yang bersifat present continuous, on going process, atau on becoming.

Kedua, membuat rute belajar secara sistematis dimulai dengan belajar untuk untuk menguasai instrumen-instrumen pengetahuan (learning to know), belajar berbuat (learning to do)  sebuah konsepsi bagaimana kita bisa berbuat dan melakukan atau mempraktekan dari apa yang sudah kita pelajari,  belajar hidup bersama orang lain (learning to live together)  konsepsi bagaimana kita bisa hidup bersama dengan orang laing yang memiliki latar, budaya, sosial, ekonomi dan agama dan keaneka ragaman yang berbeda-beda, belajar menjadi seseorang (learning to be) bahwa pendidikan harus bisa menyumbangkan perkembangan yang seutuhnya kepada setiap orang baik dalam jiwa raga, intelegensia, kepekaan, rasa, estetika tanggung jawab pribadi dan nilai-nilai spiritual. Keempat pilar pendidikan tersebut dijadikan landasan untuk pencapaian tujuan pendidikan sepanjang hayat. Di sini bukan hanya siswa, tapi juga guru, harus selalu mau mengikuti rute belajar tersebut. Baik siswa maupun guru tidak boleh hanya berhenti pada salah satu stasiun belajar tersebut.

Ketiga, tradisi budaya belajar berliterasi (bermahir-wacana) yang meliputi mahir berpikir kritis-membaca-menulis (reading-writing literacy), mahir wacana matematis (mathematical literacy), mahir wacana sains (scientifical literacy), dan mahir mengungkap dan memecahkan masalah (problem posing and problem solving) untuk kehidupan sehari-hari. Di sini diperlukan kebiasaan, kegemaran, dan perilaku berpikir kritis, membaca-menulis, bermatematika, dan bersains guna mengungkapkan dan memecahkan masalah (Arifana, 2008).

Keempat, tradisi belajar hal-hal yang memang perlu dipelajari (learning how to learn) dan meninggalkan hal-hal yang tidak perlu (learning how to unlearn). Hal tersebut menunjukkan bahwa cakupan atau wilayah tradisi budaya belajar yang perlu dikembangkan di sekolah dan dimiliki oleh warga sekolah cukup beragam dan luas. Di sinilah diperlukan kemampuan adversitas atau tahan banting (adversity quotient), bukan sekadar kecerdasaan intelektual, emosional, dan atau spiritual (Arifana, 2008).

Baca Juga:  Usai Belasan Murid SD Jadi Korban, Kini Siswa SMP di Dayun Siak Dicabuli Oknum Guru Honorer

Secara fisiologis siswa adalah makhluk sosial dan makhluk pembelajar. Ini berarti bahwa setiap siswa perlu pendidikan dan perlu mengembangkan budaya dan tradisi belajar. Setelah terbentuknya budaya dan tradisi belajar siswa maka dengan mudahnya guru mengarahkan dan menata generasi di masa depan yang penuh gemilang.

Secara implisit dapat disimpulkan bahwa budaya belajar siswa mempunyai keterkaitan dengan prestasi belajar, sebab dalam budaya belajar mengandung kebiasaan belajar dan cara-cara belajar yang dianut oleh siswa. Pada umumnya setiap orang (siswa) bertindak berdasarkan force of habit (menurut kebiasaannya) sekalipun ia tahu, bahwa ada cara lain yang mungkin lebih menguntungkan.

Budaya belajar siswa akan menjadi tradisi yang dianut oleh siswa. Tradisi tersebut akan selalu melekat di dalam setiap tindakan dan perilaku siswa sehari-hari baik di sekolah, di rumah maupun di lingkungan masyarakat. Misalnya tradisi dalam memanfaatkan waktu belajar, disiplin dalam belajar, kegigihan/keuletan dalam belajar, dan konsisten dalam menerapkan cara belajar efektif.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa budaya belajar yang baik mengandung suatu ketetapan, keteraturan menyelesaikan tugas, dan menghilangkan rangsangan yang akan mengganggu konsentrasi belajar sehingga semua itu akan berpengaruh terhadap prestasi belajarnya. Kepribadian yang teratur sebagai salah satu barometer dari kejernihan berpikir. Kejernihan berpikir yang diperlukan selama menuntut ilmu harus dipertahankan. Demikian pula sebaliknya, budaya belajar yang kurang baik akan membentuk siswa menjadi pribadi yang malas, bertindak semaunya, dan ketidakteraturan.

Bambang Soegiharto
Guru SMP Negeri 51 Bandung

Sumber : Jabarekspres
Editor : Afrijon

loading...